Jakarta – Lima orang advokat mengajukan permohonan uji materi Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai pasal tersebut berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan lantaran dirumuskan tanpa batasan yang jelas.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 163/PUU-XXIII/2025 itu berpijak pada kekhawatiran adanya pelanggaran prinsip legalitas, kepastian hukum, serta asas lex certa dalam hukum pidana.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (24/9/2025), Pemohon II, Anggara Suwahju, menegaskan bahwa frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung” yang termuat dalam Pasal 21, bersifat kabur dan multitafsir. “Rumusan itu bisa ditarik ke mana saja sehingga menjadi pasal karet yang rawan digunakan sewenang-wenang,” ujarnya.
Anggara hadir bersama Pemohon I Irianto Subiakto, Pemohon III Emir Zullarwan Pohan, serta Pemohon V Febi Yonesta. Sementara Pemohon IV, Zainal Abidin, berhalangan hadir.
Menurut para Pemohon, frasa-frasa tersebut tidak memenuhi asas kejelasan rumusan sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akibatnya, tafsir atas Pasal 21 UU Tipikor dapat bergantung sepenuhnya pada subjektivitas aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, jaksa, hingga hakim.
Pasal 21 UU Tipikor sendiri menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.”
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 21 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Majelis Panel Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara ini dipimpin Enny Nurbaningsih dengan didampingi Anwar Usman dan Ridwan Mansyur. Dalam sidang, Ridwan menyoroti permohonan para advokat, terutama potensi kekosongan hukum apabila MK langsung membatalkan pasal tersebut. “Kalimat dalam petitum Saudara bisa menimbulkan kekosongan hukum. Perhatikan dengan cermat agar tidak justru merusak aturan yang ada,” kata Ridwan dalam persidangan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih sebelum menutup sidang menyatakan, para Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan harus sudah diterima Mahkamah paling lambat Selasa, 7 Oktober 2025, pukul 12.00 WIB.





















